RADARSULBARNEWS
KOLOM  

Caleg Bersarung

Kebanyakan warga yang terseret money politik sadar menjadi obyek para elit politik atau tim suksesnya. Tapi terbuka menerima serangan fajar dan semacamnya, karena, menurut mereka calon kebanyakan lupa janjinya setelah terpilih.

“Kalau pendapat saya lebih baik ambil (terima) pemberian yang sudah pasti, daripada berharap yang tidak pasti sesudah pemilu. Apalagi banyak(calon) hanya pintar bicara, rajin berjanji, setelah duduk (dilantik) lupa semuanya,” begitu pengakuan di forum barang-barang soal money politic.

“Sangat disayangkan orang terima money politic tapi sadar dijadikan obyek, pilihannya dibarter uang yang nilainya tidak seberapa dibanding harga diri (suara)-nya digadaikan selama lima tahun. Ampun deh,” sentil yang lain.

Praktik money politic yang terjadi setiap pemilu bukan hanya pelanggaran hukum. Tapi sangat jelas pula menciderai kepercayaan terhadap perhelatan yang seharusnya berlangsung jujur.

Sejatinya pemilu mengedukasi rakyat mengenai esensi demokrasi dan kedaulatan rakyat. Pemilu bukan sekedar rutinitas lima tahunan untuk suksesi atau pergantian pemimpin, tapi mengorbankan kebebasan rakyat menentukan haknya secara bebas sebagai pemilik kedaulatan.

Fenomena lain soal caleg dan potensi money politic. Pengakuan seorang tokoh masyarakat di sebuah persamuhan. Pemilih di sebuah wilayah membuat kriteria untuk mendeteksi caleg yang punya potensi bagi-bagi uang alias punya isi tas.

Katanya, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap para caleg, ada guyonan soal sarung soal isi tas, terlepas dari kualitas.

“Caleg yang pakai sarung mengindikasikan kurang persiapan bagi-bagi uang,” katanya.

Apa hubungan sarung dengan (kesiapan) bagi-bagi uang? Menurutnya, sarung tidak memiliki kantong untuk menyimpan uang.

Sungguh fenomena money politic makin mencemaskan. Bahaya ta’. (*)

error: Konten dilindungi!!
Exit mobile version