MAMUJU, RADARSULBAR NEWS — Di tengah jeritan warga akibat mahalnya harga gas subsidi, berembus informasi dugaan praktik pangkalan siluman di Kecamatan Kalumpang dan Bonehau. Dua wilayah ini disebut-sebut jadi titik lemah distribusi gas elpiji tiga kilogram atau gas melon akibat minimnya pengawasan.
Hal tersebut diungkapkan anggota DPRD Mamuju asal Bonehau, sekaligus Sekretaris Komisi I DPRD Mamuju, Arnol Topo Sujadi. Dia mengaku menerima laporan masyarakat dan telah melakukan konfirmasi ke sejumlah masyarakat.
Legislator Demokrat itu menyimpulkan ada kelalaian serius Pemkab Mamuju dalam sistem distribusi yang melibatkan agen dan pangkalan.
“Di lapangan, pangkalan resmi tak terlihat. Tapi elpiji subsidi justru dijual bebas di kios-kios dengan harga Rp40 ribu sampai Rp60 ribu per tabung. Jauh di atas HET,” kata Arnol, Minggu 13 Juli.
Ia mencontohkan di Desa Banuada, Hinua, dan Tamalea, Kecamatan Bonehau, distribusi elpiji subsidi tidak lewat pangkalan resmi. Tetapi gas melon banyak dijual di kios-kios.
“Pangkalan hanya dijatah 50 tabung per minggu. Sementara desa-desa yang terdaftar punya pangkalan faktanya tidak ada aktivitas sama sekali. Ini pangkalan siluman,” tudingnya.
Arnol mendesak agar agen yang lalai segera dievaluasi. Ia bahkan mengusulkan agar izinnya dicabut jika tak mampu menyalurkan subsidi dengan benar.
“Kalau agen tidak becus mengelola, lebih baik izinnya dicabut saja,” tegasnya.
Persoalan tersebut dinilai sangat merugikan masyarakat kecil yang seharusnya menjadi prioritas penerima gas subsidi. Ia mendesak agar seluruh agen dan pangkalan di wilayah tersebut segera ditertibkan demi menjamin distribusi elpiji subsidi tepat sasaran.
Dugaan keberadaan pangkalan siluman ini turut diperkuat oleh pengakuan Kepala Desa Limbong, Amos. Ia menyebutkan di desanya terdapat pangkalan tapi tak pernah beroperasi.
“Ada pangkalan Limbong Permai di desa saya. Tapi saya tidak pernah melihat aktivitasnya. Warga tetap beli elpiji dari pedagang keliling,” paparnya.
Kepala Bidang Perlindungan Konsumen, Dinas Perdagangan (Disdag) Mamuju, Andi Acce Tenrisaung, tak menampik minimnya pengawasan di dua kecamatan tersebut. Kendala anggaran, katanya, menjadi alasan utama.
“Bukan karena wilayah itu dinomorduakan, tapi memang untuk ke sana butuh biaya operasional besar, sementara anggaran kami sangat terbatas,” sebutnya.
Berdasarkan data di Disdag Mamuju, setiap desa di Bonehau memiliki satu pangkalan dengan jatah 200 tabung per bulan. Penyalurannya dilakukan seminggu sekali sebanyak 50 tabung. Namun, soal realisasi di lapangan, pihaknya masih harus berkoordinasi dengan PT Muamalah, sebagai agen resmi.
“Kalau ada bukti silakan diberikan. Agen itu yang seharusnya bertanggung jawab ke pangkalan-pangkalan, karena yang menunjuk mereka adalah Pertamina. Jadi kewenangan pemberian sanksi juga di Pertamina, bukan di kami,” tegasnya.
Acce menyebutkan, saat ini sistem distribusi elpiji sudah berbasis digital, transaksi antara agen dan pangkalan dilakukan lewat aplikasi. Namun di wilayah terpencil seperti Kalumpang dan Bonehau, akses internet menjadi kendala.
“Biasanya ada titik serah terima antara agen dan pangkalan. Mereka sudah buat kesepakatan sendiri karena memang jaringan sulit,” paparnya.
Soal inspeksi mendadak, Disdag Mamuju belum memasukkan ke dalam agenda waktu dekat. “Setelah Hari Jadi Mamuju, baru kami bahas bersama Dinas Perdagangan Provinsi,” pungkasnya. (irf/jsm)