RADARSULBARNEWS

Kisah Pilu, Lansia Bertahan Hidup di Gubuk Reyot

GUBUK. Hadana (62) berfoto di depan gubuknya ditengah areal perkebunan di Dusun Batusasi, Desa Sumarrang, Kecamatan Campalagian.

POLMAN RADAR SULBAR — Seorang warga yang sudah lanjut usia bernama Hadana (62) hidup dalam kondisi memprihatinkan. Dia bertahan hidup seorang diri dalam gubuk reyot mirip kandang di tengah areal perkebunan yang jauh dari pemukiman warga.

Hadana merupakan warga Dusun Batusasi, Desa Sumarrang, Kecamatan Campalagian. Gubuk berukuran sekira 2 x 3 meter yang menjadi istana bagi Hadana, hanya dapat dijangkau dengan berjalan kaki sejauh 2 kilometer melewati jalan yang cukup terjal.

Gubuk tersebut dibangun menggunakan bahan seadanya. Dindingnya menggunakan beberapa seng bekas, sedangkan dindingnya memakai potongan ranting kayu yang disusun berjejer.

Karena dibangun menggunakan bahan seadanya, tidak jarang Hadana harus tidur dalam kondisi kehujanan. Sepanjang malam juga kerap dilalui dengan kondisi kedinginan.

Di dalam gubuk tersebut tak terlihat satupun barang yang sedikit berharga. Hanya ada beberapa lembar pakaian usang, sejumlah peralatan memasak tidak layak pakai, serta puluhan tempurung kelapa yang digunakan menampung air.

Terdapat pula beberapa lembar papan yang digunakan Hadana sebagai alas untuk tidur dan juga memasak.

Tidak begitu mudah untuk berkomunikasi dengan Hadanah. Selain karena hanya mampu menggunakan bahasa daerah (Mandar), setiap pertanyaan yang ditujukan kepadanya juga kerap dijawab seadanya.

“Saya sudah lama tinggal di sini. Sudah puluhan tahun,” kata Hadana kepada wartawan, Jumat 16 Mei.

Walau kondisinya jauh dari kata layak, Hadana mengaku betah tinggal di gubuk mirip kandang itu karena berada di lahan yang diakui sebagai miliknya sendiri.

“Saya suka tinggal di sini. Ini kebun saya,” ujarnya meyakinkan.

Menurut Hadana, awalnya dia memiliki rumah yang lebih layak di samping gubuknya saat ini. Namun rumah yang pernah ditinggali bersama mendiang suaminya itu telah habis terbakar.

“Dulu saya ada rumah di sini, saya tinggali sama suami. Tapi terbakar,” ungkapnya sambil tersenyum.

Hadana juga mengaku jika dirinya memiliki tiga anak yang sudah berkeluarga dan tinggal di daerah lain. Diakui, anaknya bersama kerabat lain kerap berkunjung dan mengajaknya untuk pindah namun ditolak.

“Ada anak, jauh, biasa kesini, dia suruh saya pindah, saya tidak mau. Saya biasa ke rumahnya (anak), tinggal di sana, seminggu, pulang lagi ke sini,” ucapnya

Sementara Kepala Desa Sumarrang, Sudirman menyebut jika Hadana memilih mengasingkan diri lantaran hubungannya dengan masyarakat yang kurang harmonis.

“Seperti itumi sebenarnya, kadang kalau datang baiknya baik sekali. Tapi kadang tiba-tiba marah, habis dikatai-katai orang,” terangnya.

Menurut Sudirman, pemerintah desa pernah menyiapkan sejumlah bahan bangunan yang akan digunakan merehab rumah Hadana. Hanya saja rencana itu urung dilakukan lantaran mendapat penolakan dari keluarga Hadana.

“Kita selaku pemerintah desa agak dilema. Kemarin itu kita mau buatkan rumah, sudah ada semua bahannya, ada tiang, ada atap tinggal mau dibuatkan (rumah), yang jadi masalah keluarganya tidak setuju kalau dibuatkan rumah. (Mungkin agar Hadana mau pindah) seperti itu bahasanya,” terang Sudirman.

Meski demikian, Sudirman mengaku tetap berupaya memberikan perhatian untuk meringankan beban hidup Hadaia. Salah satunya dengan memberikan bantuan beras secara rutin serta memasukkan nama Hadana sebagai daftar penerima bantuan langsung tunai (BLT).

“Alhamdulillah, beras selalu kita kasih, kalau makanan Alhamdulillah tidak pernah kekurangan. Dia (Hadania) dapat BLT, harusnya bergantian tapi karena kodisinya begitu jadi kita beri secara rutin,” jelasnya.

Sudirman juga mengaku selalu siap membantu untuk menyiapkan tempat tinggal lebih layak bagi Hadana.

“Kami selalu siap, siap sekali, kalau ada yang mengarahkan ini kami siap. Bukan membantu tapi sebenarnya kami yang dibantu,” pungkasnya. (mkb)

error: Konten dilindungi!!
Exit mobile version