AIR terjun Limbong Parengge Desa Kelapa Dua Kecamatan Anreapi Kabupaten Polewali Mandar memiliki pesona alam yang tak terbantahkan. Tidak hanya menawarkan keindahan alam saja, Air Terjun Limbong Parengge juga punya potensi wisata sejarah yang layak untuk dikembangkan.
LAPORAN : AMRI MAKKARUBA (POLEWALI MANDAR)
Konon, Air Terjun Limbong Parengge menjadi markas pejuang di Kelapa Dua untuk mengatur siasat menyerang penjajah Belanda. Kawasan Air Terjun Limbong Parengnge memiliki keindahan dan cerita sejarah yang tidak diketahui banyak orang. Dulunya, kawasan wisata ini adalah markas para pejuang kemerdekaan melawan penjajah Belanda.
Kawasan air terjun Limbong Parengnge terletak di Dusun Kelapa Dua, Desa Kelapa Dua, Kecamatan Anreapi. Jaraknya sejauh dua kilometer dari pemukiman, serta dapat dijangkau menggunakan kendaraan roda dua dilanjutkan berjalan kaki sekira 150 meter.
Akses jalan ke tempat ini belum sepenuhnya bagus. Warga yang berkendara harus berhati-hati karena jalan tanah yang dilalui masih sempit serta becek saat musim penghujan.
Meski perjalanan untuk menjangkau tempat ini sedikit melelahkan, semuanya terbayar dengan keindahan panorama alam yang tersaji dan memanjakan mata.
Keberadaan pepohonan tinggi yang mengelilingi kawasan air terjun ini membuat udara terasa sejuk dan menyegarkan. Seolah mampu membuat para pengunjung untuk berlama-lama habiskan waktu di tempat ini.
Air terjun Limbong Parengnge memiliki ketinggian sekira lima meter. Di depannya terdapat genangan air menyerupai kolam dengan kedalaman mencapai dua meter.
“Air terjun Limbong Parengnge. Markasnya pejuang melawan Belanda,” kata Kepala Dusun Kelapa Dua, Hasanuddin kepada wartawan, Sabtu 11 Januari.
Pada waktu tertentu, kawasan wisata alam ini mendapat kunjungan dari sejumlah warga lokal maupun luar daerah. Termasuk mahasiswa yang melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa ini.
“Sering-sering ada anak sekolah dari Polewali berkunjung menikmati keindahan air terjun Limbong Parengge,” ungkap Hasanuddin.
Hasanuddin turut mengantar untuk memperlihatkan tempat yang dimanfaatkan sebagai markas para pejuang kemerdekaan saat melawan penjajah Belanda. Selain memiliki air terjun. Terdapat juga susunan batu besar mirip gua, berjarak sekira lima meter dari puncak air terjun Limbong Parengnge. Gua berukuran kecil itu berada di bawah tebing batu yang membelah aliran Sungai Salu Bayo.
“Di sini mi tempatnya para pejuang mengatur strategi saat melawan penjajah. Mereka (pejuang) kadang bermalam di sini,” tutur Hasanuddin.
Salah seorang pengunjung saat penulis mendatangi air terjun Limbong Parengge, Fahrun mengaku walaupun harus trekking terlebih dahulu agar sampai ke lokasi air terjun. Namun pesona yang ditawarkan sangat sepadan dengan perjuangan tersebut. Rasa lelah akan terbayar lunas sesampainya di air terjun ini.
“Selain itu airnya segar sangat cocok berlama lama mandi dan berendam di dasar air terjun. Apalagi udara dan susana air terjun asri dan sejuk. Pikiran jadi fres setelah mandi di air terjun. Selain itu kita juga bisa melihat gua tempat pejuang menyusun strategi menyerang penjajah Belanda,” tutur Fahrun.
Sementara Kepala Desa Kelapa Dua, Masdar menceritakan tiga tokoh pejuang yang memimpin warga Kelapa Dua melawan penjajah Belanda. Ketiganya terdiri dari seorang ayah dan dua anak, masing-masing bernama Tarrua, Sampeani dan Lira.
“Mereka sebenarnya ini adalah salah satu tokoh masyarakat dan adat pada zamannya. Tiga orang ini satu keluarga yakni bapaknya bernama Tarrua dan dua anaknya yakni Sampeani dan Lira. Mereka inilah yang memimpin pergerakan warga Kepala Dua melawan Belanda,” ungkap Masdar.
Kades Kelapa Dua ini menuturkan, ketiga pejuang tersebut gugur dalam pertempuran sengit melawan penjajah sekira bulan Oktober 1946. Markas yang menjadi tempat persembunyian mereka diserang setelah lokasinya dibocorkan seorang pengkhianat.
“Tidak bisa dipungkiri dalam satu wilayah pada masanya, selalu ada namanya musuh dalam selimut, selalu ada namanya orang yang membelot yang bersekutu dengan Belanda. Inilah yang membocorkan tempat rahasia perlawanan mereka, bahwa ada markas yang perlu digempur di sana,” terangnya.
Menurut Masdar, jenazah ketiga pejuang itu dimakamkan dalam satu liang lahad tidak jauh dari kawasan air terjun Limbong Parengnge. Barulah pada sekira tahun 1967, makam mereka dipindahkan dan dibuatkan monumen di dekat Kantor Desa Kelapa Dua saat ini.
“Katanya (makam) disatukan di situ (satu liang). Dipindahkan sekira tahun 1967, sekaligus dibuatkan monumen saat jam Bupati Polman Abdullah Majid,” ucap Masdar.
Atas perjuangan tiga orang pejuang asal Kelapa Dua ini, Pemkab Polman membangun tiga patung pejuang di taman Bambu Runcing Polewali yang terletak di Jalan Ahmad Yani depan Kantor Kelurahan Polewali Kecamatan Polewali. Ketiga patung tersebut dibangun di atas tugu setinggi lebih kurang dua meter dengan posisi berdempetan. Ketiga patung tampak memegang bambu runcing dengan gaya berbeda.
“Iya, tiga patung di taman Bambu Runcing itu adalah sosok tokoh pejuang asal Kelapa Dua yakni Tarrua, Sampeani dan Lira. Makanya jalan di sekitar tempat itu menggunakan nama mereka,” pungkas Masdar. (*)