Politik balas dendam itu, kata Rocky, bisa saja terjadi ketika Jokowi tidak lagi menjabat. Serangan itu bisa jadi didapatkan dari presiden terpilih. Meski begitu, Rocky menyebut, Jokowi tidak perlu terlalu khawatir ikhwal tersebut selama memiliki perisai hukum.
”Perisainya apa? Ada perisai hukum, hingga culture tersedia. Tetapi perisai yang paling tangguh adalah batin presiden sendiri,” ucap Rocky.
Masalahnya, ungkap Rocky, perisai batin Presiden Jokowi dianggap retak. Presiden SBY lebih stabil karena memiliki kendaraan politik Partai Demokrat yang melindungi.
”Anda bayangkan Jokowi, tidak punya partai. Kecemasan tiba-tiba hilang kekuasaan,” kata Rocky, mantan dosen di Universitas Indonesia itu.
Menurut Rocky sosok yang bisa menjadi perisai hukum Jokowi adalah Yusril. Cara lain agar Jokowi mendarat mulus di pengujung kepemimpinan dengan mengubah presidential threshold menjadi nol persen.
”Seharusnya Pak Jokowi ajak Prof Yusril jadi calon presiden atau cawapres, karena Prof Yusril yang bisa menyelamatkan Pak Jokowi. Sebab gak ada orang lain yang tahu, Prof Yusril yang hanya bisa jadi tameng Presiden Jokowi dan yang paham seluk-beluk penyelamatan,” kelakar Rocky.
Sementara itu, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengamini kelihaian Yusril terhadap Presiden Soeharto. Yusril merupakan pembuat teks pidato Soeharto ketika meninggalkan jabatan.
Pada pidato itu, Soeharto menyebut bukan mengundurkan diri sebagai presiden, melainkan berhenti. Secara hukum, makna mengundurkan diri dan berhenti itu berbeda.
Bivitri menyebut kejelian Yusril dalam memilih kata tersebut menjaga wibawa Soeharto kala itu.
”Pidato Soeharto itu bukan mengundurkan diri, tetapi berhenti. Itu yang bikin Pak Yusril. Kalau mundur, artinya sudah tidak sanggup. Berhenti ya berhenti, karena tidak mendapatkan lagi mandat rakyat,” kata Bivitri. (jpg)