POLMAN, RADARSULBAR NEWS – Program pembelajaran berbasis Virtual Reality (VR) di sejumlah Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Polewali Mandar (Polman) menuai sorotan. Pasalnya, siswa diminta membayar Rp 25.000 untuk bisa menggunakan perangkat VR tersebut dalam sekali sesi.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, pungutan ini terjadi di beberapa sekolah di wilayah Polman. Sejumlah orang tua siswa mengeluhkan bahwa program ini justru menimbulkan beban ekonomi tambahan, terlebih bagi keluarga dengan kondisi finansial terbatas.
“Ini menyebabkan kecemburuan sosial karena siswa harus bayar. Sementara ada siswa yang tidak bisa bayar akibatnya si anak jadi tidak masuk sekolah. Karena satu pekan sebelum berjalan diinfokan ke siswa yang membayar yang bisa menonton,” ungkap salah satu orang tua siswa yang namanya tidak disebutkan.
Ia menambahkan, informasi tentang kegiatan VR ini disampaikan sekitar satu pekan sebelumnya, dan hanya siswa yang membayar yang diperbolehkan mengikuti.
Para orang tua berharap program ini dievaluasi atau ditiadakan jika justru menimbulkan diskriminasi dan tekanan psikologis bagi siswa yang kurang mampu.
Menanggapi hal tersebut, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Polman menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah menginstruksikan pungutan kepada siswa untuk penggunaan VR.
“Program VR yang kami miliki diperuntukkan bagi pelatihan guru, bukan untuk disewakan kepada siswa. Jika ada pihak yang melakukan pungutan, kami minta pihak sekolah segera melaporkan,” tegas M. Rusdy, staf Bidang Mutu Disdikbud Polman.
Hal senada disampaikan Ahmad Mutakabbir, staf Bidang Sarana dan Prasarana Disdikbud Polman. Ia menjelaskan bahwa perangkat VR yang diadakan tahun 2024 justru belum didistribusikan ke sekolah-sekolah karena pembayaran kepada pihak rekanan masih tertunda.
“Total ada 154 unit VR, masing-masing senilai Rp 388 ribu. Saat ini masih tersimpan di gudang dan belum diserahkan ke sekolah penerima karena belum dibayar ke penyedia,” ujarnya.
Disdikbud Polman menegaskan komitmennya untuk mencegah pungutan liar di lingkungan sekolah dan meminta masyarakat untuk aktif melapor jika menemukan praktik semacam ini. (arf/mkb)