BANDUNG, RADARSULBAR NEWS – Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Bandung Barat Eko Suprianto mengungkapkan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat efisiensi anggaran pemerintah.
Menurut dia, PHK adalah langkah paling realistis ketika pemasukan restoran dan hotel anjlok.
“Kalau rencana atau kebijakan ini dilaksanakan terus berdampak pada kegiatan perusahaan (hotel dan restoran) kurang, ya kami pasti merasionalisasi tenaga kerja,” kata Eko, Senin (17/2).
Eko mengungkapkan, kegiatan seperti Meeting, Incentives, Convention, and Exhibition (MICE) adalah jantung dari operasional hotel bisnis, khususnya yang ada di Bandung Barat.
Dengan minimnya kegiatan MICE karena efisiensi anggaran, otomatis omzet hotel dan restoran ikut terdampak.
Biasanya, kata dia, saat omzet turun drastis, pemangkasan karyawan merupakan hal utama yang dilakukan oleh pelaku usaha.
“Yang paling gampang pengusaha akan melakukan itu (PHK), selain mencari pangsa pasar yang baru,” tegasnya.
Eko mengaku kebijakan yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD tahun anggaran 2025 itu belum berdampak terhadap sektor pariwisata khususnya hotel dan restoran di Bandung Barat.
Meski begitu, Eko berharap pemerintah khususnya pemerintah daerah melakukan kajian secara komprehensif agar efesiensi anggaran yang dilakukan tidak berdampak buruk pada sektor pariwisata khususnya di Bandung Barat.
“Sejauh ini belum, belum ada yang cancel cancel, sekarang masih berjalan. Kita berharap pemerintah tetap bisa memberikan iklim yang sejuk untuk sektor pariwisata,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan PHRI Jawa Barat. Ketua PHRI Jabar Dodi Ahmad Sofiandi mengatakan, efisiensi ini sudah terasa sejak Januari 2025, di mana hotel-hotel di Jawa Barat khususnya di Kota Bandung okupansinya 30 persen sampai 35 persen.
“Kalau ini berkepanjangan bisa mengakibatkan kemungkinan besar usaha dari hotel dan pariwisata khususnya bisa memangkas karyawannya minimal 50 persen dari jumlah karyawan sekarang,” kata Dodi saat dihubungi.
Menurutnya, pada bulan kemarin pesanan dari kementerian-kementerian maupun perangkat daerah di tingkat provinsi sudah banyak yang membatalkan pesanan untuk berbagai kegiatan di perhotelan. Terlebih, okupansi dari kegiatan-kegiatan tersebut menambah income besar di sektor perhotelan.
Untuk memenuhi break even point (BEP) atau titik keseimbangan, okupansi hotel harusnya 50 sampai 55 persen. Dengan kondisi 30 persen, otomatis ada defisit 20 persen sampai 25 persen.
“Nah, kalau defisit 25 persen kalau selama sebulan dua bulan masih bisa kita tanggulangi. tapi kalau sampai sampai akhir lebaran nanti April masih begini, semua hotel yang okupansinya kurang, sudah sepakat akan melaksanakan efisiensi dari semua kegiatan. Salah satunya yang paling besar (pengurangan) karyawan,” jelasnya.
Jika semua hotel turut melakukan efisiensi kegiatan, menurut Dodi, akan banyak karyawan hotel dan restoran yang kemungkinan di PHK. (jpnn)