MAMUJU, RADARSULBAR NEWS – Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah membawa dampak besar bagi industri perhotelan di Mamuju. Salah satu yang paling terpukul adalah Grand Maleo Hotel and Convention.
Sejak kebijakan tersebut diterapkan, tingkat hunian hotel merosot hingga 80 persen, menyebabkan ketidakpastian bagi 162 karyawannya.
“Kalau kita harapkan dari penjualan kamar atau wisatawan itu sulit. Mamuju bukan daerah wisata. Kita memang segmennya pemerintah daerah. Sementara perjalanan dinas dan kegiatan pemerintahan di hotel dilarang,” ungkap General Manager Grand Maleo Hotel and Convention, Arif Budi, saat ditemui di hotel tersebut, Jumat 14 Februari.
Penyesuaian anggaran oleh pemerintah daerah membuat manajemen hotel menghadapi dilema. Berbagai upaya efisiensi telah dilakukan, mulai dari pengurangan penggunaan listrik hingga pemangkasan pengadaan bahan makanan. Namun, langkah terakhir yang paling berat adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Gelombang pertama PHK sudah terjadi. Sembilan karyawan terkena dampaknya. Dan jika kondisi tak membaik, PHK berikutnya sulit dihindari,” tambah Arif.
Bagi para pekerja, kehilangan pekerjaan berarti kehilangan mata pencaharian utama. Sebagian besar dari mereka telah mengabdi selama bertahun-tahun dan kini harus mencari cara lain untuk bertahan hidup.
Dampak kebijakan ini tidak hanya dirasakan industri perhotelan, tetapi juga sektor lain yang bergantung padanya. Para pemasok bahan makanan dan kebutuhan operasional hotel juga terancam kehilangan pelanggan tetap mereka. Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang selama ini memasok ke hotel pun tentu akan mengalami kesulitan.
Beberapa usaha kecil di sekitar hotel yang biasa melayani tamu dan karyawan hotel juga terdampak. Warung makan, penyedia jasa transportasi, dan toko suvenir juga terancam menghadapi penurunan omset yang signifikan.
Arif Budi mengungkapkan bahwa pihaknya telah berusaha mencari solusi. Manajemen hotel mencoba berkolaborasi dengan pihak swasta untuk mengisi kekosongan pemasukan. Namun, hasilnya masih jauh dari mencukupi.
“Kami mencoba bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk mengadakan event di hotel dan mencari tamu dari segmen lain. Tapi tetap sulit karena mayoritas klien kami dari sektor pemerintah,” katanya.
Meski begitu, ia tetap berharap ada kebijakan yang bisa membantu industri perhotelan tetap bertahan.
“Kami berharap ada kebijakan yang lebih fleksibel, mungkin dengan memberikan kelonggaran bagi instansi pemerintah dalam menyelenggarakan acara di hotel. Jika tidak, situasi ini bisa menjadi lebih buruk,” tambahnya.
Jika kebijakan efisiensi terus berlanjut tanpa solusi alternatif, maka ancaman PHK massal bukan lagi isapan jempol. Tidak hanya pekerja hotel yang terdampak, tetapi juga ekosistem bisnis yang bergantung pada sektor ini.
Hal sama juga diutarakan Grand Manager Matos Hotel Mamuju, Yudhi Bakaria. Menurutnya, hotelnya mengalami penurunan okupansi hingga 70 persen di awal tahun. Hal itu imbas dari kebijakan efisiensi anggaran oleh pemerintah.
“Kalau yang dirasakan ya pasti berdampak sekali yah, karena kita tahu di Mamuju itu sektor wisata belum bisa menopang sisi lainya. Beda dengan di Bali di sana pusat wisata,” ungkap Yudhi.
Menurut Yudhi, market perhotelan di Mamuju hanya mengandalkan kegiatan bisnis dan kegiatan pemerintahan. Bahkan tidak hanya di Mamuju, pengusaha hotel di wilayah Jawa dan Makassar juga banyak merasakan hal yang sama soal efisiensi anggaran ini.
Namun, kebijakan pengurangan karyawan hotel belum akan dilakukan. Pihaknya masih mengkaji dan melihat sampai di mana kebijakan ini akan berlangsung. Tetapi saat ini, pihaknya sudah melakukan penghematan operasional hingga 50 persen. (ajs)