RADARSULBARNEWS
KOLOM  

Meraih Kesucian Jiwa di Hari Raya Idul Fitri

BULAN suci Ramadan mengubah karakter manusia dengan menjalankan ibadah nan suci dan memeroleh keistimewaan di bulan penuh berkah. Tidak terasa waktu telah berlalu bulan Ramadan meninggalkan kita semua, beberapa manusia seluruh penjuru dunia, mulai meneteskan air mata dan merenungi kepergian bulan Ramadan.

Oleh: Ma'ruf, S.Pdi
(Guru MTs Husnul Khatimah Polewali)

Selama sebelas bulan, Ramadan meninggalkan kita semua, belum tentu tahun berikutnya, dapat berjumpa dengan bulan penuh berkah. Ramadan mengedukasi manusia menjadi takwa, melalui safaat yang diperoleh dalam menjalankan ibadah di bulan penuh berkah. Amaliah di bulan Ramadan dapat berlipat ganda pahala yang diterima, dibandingkan dengan hari di luar dari bulan penuh berkah. Namun demikian, berakhirnya bulan Ramadan dapat memeroleh amaliah dan mensucikan jiwa manusia melalui ibadah yang diperoleh di bulan mulia, sehingga kotoran-kotoran dalam diri manusia seperti, kedengkian atau kesombongan dapat terkikis oleh perbuatan yang dapat meningkatkan keimanan.

Semua masyarakat muslim se-Nusantara meraih kemenangan di Idul Fitri, tantangan bulan suci Ramadan melawan dahaga dan lapar hingga melawan hawa nafsu, perbuatan tersebut memiliki pengaruh sangat pesat, sehingga dapat menguggurkan puasa, akhirnya memperoleh kemenangan di batasi oleh prilaku yang menguggurkan amaliah di bulan Ramadan. Hari raya Idul Fitri manusia kembali suci, seperti membuka lembaran baru yang tidak punya noda sehalus kain kafan, beginilah model manusia keluar dari masa perjuangan di bulan penuh berkah, dan memiliki tantangan yang menakjubkan, untuk memeroleh kesucian diri.

Dosa yang diperbuat di hari-hari lain, dapat terhapuskan akibat amaliah yang dilakukan di bulan suci Ramadan. Indahnya keistimewaan di bulan suci Ramadan mengubah perilaku manusia menjadi bermartabat, karena faktor ibadah mengguncang jiwa manusia ke arah yang lebih baik. Terlepas dari bulan yang mulia hingga meraih kemenangan di hari Idul Fitri, sehingga dapat memeroleh nilai ketakwaan dan mampu mempertahankan kemenangan hingga di bulan suci Ramadan tahun berikutnya.

BACA JUGA:  Telusur Jejak Islam di Afsel, Peneliti Negeri Rempah Foundation Berkunjung ke Cape Town

Perilaku manusia dapat diperoleh pada bulan suci Ramadan, meningkatkan keimanan dan menbentuk takwa yang melekat dalam diri manusia. Hari kemenangan memerdekakan manusia, untuk mempertahankan iman yang telah diperoleh, di bulan nan suci dengan mengendalikan hawa nafsu yang telah diraih di bulan yang mulia. Puncak kemenangan manusia diraih dalam Idul Fitri memeroleh nilai takwa, untuk menjadikan benteng menghalau paradigma yang meruntuhkan nilai ajaran Islam. Pengaruh negatif yang terjadi dalam ruang sosial, tidak mampu masuk dalam jiwa manusia, akibat benteng yang kokoh, sehingga tidak dapat dirasuki oleh penghasut syaitan terkutuk dan laknatullah. Hari kemenangan meningkatkan silahturahmi antar sesama nanusia, baik yang pernah menyakiti orang lain, sehingga dapat saling memaafkan dari hati lubuk paling dalam, akibat meraih kemenangan di hari raya Idul Fitri. Saatnya momentun hari kemenangan dapat megubah secara totalis perilaku manusia, mulai dari prilaku ekstrem atau ego terhadap sesama manusia, akibat konflik antar keluarga, suku dan nasional, dapat mempersatukan melalui munculnya bulan penuh berkah, hingga meningkatkan kesadaran mengatasi problem sosial, yang dapat mencegah konflik antar masyarakat.

Ketakwaan yang diperoleh dapat mengubah karakteristik manusia dari aspek kualitas iman diperoleh pada bulan Ramadan, mengakibatkan tumbuh kesadaran, untuk sikap saling memaafkan di hari raya Idul Fitri. Kesucian pada diri manusia dapat terwujud, akibat memeroleh nilai takwa melalui bulan penuh berkah, sehingga dapat mengikis ego sentris dalam jiwa manusia. Ketawaduan tampak pada diri manusia, karena mengikis egosentris di bulan kemenangan, dapat menumbuhkan karakter yang beradab, akhirnya sikap mengasihi muncul dalam jiwa manusia. Konflik antar keluarga mulai diretas, karena dalam jiwa dan pikiran tertanam perilaku yang religius. Di dalam kehidupan sosial sering muncul konflik antar keluarga, sehingga meruntuhkan komunikasi antar sesama tetangga, akibat kesalapahaman memahami pergejolakan realitas sosial. Dampaknya sering terjadi konflik, tidak mengenal waktu dan tempat, sehingga runtuhnya iman dan kesadaran menjalani kehidupan sosial. Maka di hari raya Idul Fitri kembalinya manusia dari lembaran putih, mengakibatkan pergejolakan yang positif baik dalam internal keluarga maupun eksternal dapat diretas, akibat memuncaknya ketakwaan tumbuh pada diri manusia, sehingga segala persoalan tumbuh damai dan saling mencintai antar sesama manusia.

BACA JUGA:  Telusur Jejak Islam di Afsel, Peneliti Negeri Rempah Foundation Berkunjung ke Cape Town

Hari raya Idul Fitri mengubah tatanan sosial menjadi rabbani, akibat ketakwaan yang memuncak pada capaian di bulan penuh berkah. Persaudaraan manusia menjadi lebih menyatu dan saling mencintai, dikarenakan tumbuhnya nilai keimanan pada diri manusia. Saatnya merenungi perbuatan dalam setiap langkah, bahwa seyognya kehidupan di dunia yang fana, seperti kehidupan di akhirat, akhirnya tumbuh dalam jiwa manusia berbuat baik dan berkarakter, sehingga manusia terjaga dari perbuatan tercela. Iman dan amaliah akan mengalir dalam tubuh manusia,mengakibatkan perbuatan saling mencintai dan menyanyagi dalam menghadapi roda kehidupan. Bulan penuh berkah mengedukasi manusia menjadi insan kamil. Sifat tercela teraliansi dalam kehidupan manusia, mengakibatkan tumbuh rasa syukur dan kerinduan, dapat bertemu kembali di bulan penuh berkah di tahun berikutnya.

BACA JUGA:  Telusur Jejak Islam di Afsel, Peneliti Negeri Rempah Foundation Berkunjung ke Cape Town

Melansir laman resmi Nahdlatul Ulama (NU), Idul Fitri bukan sekadar tentang hari perayaan, pakaian baru, dan hal-hal lain yang serba baru. Meski pada dasarnya umat muslim disunnahkan untuk menggunakan pakaian baru, tetapi secara hakikat, bukan itu makna sesungguhnya dari Hari Raya Idul Fitri. Lebih dari itu, Idul Fitri dimaknai sebagai bentuk refleksi diri, bentuk rasa syukur, dan kegembiraan. Dalam hal ini, refleksi diri berarti setiap umat muslim dianjurkan untuk introspeksi diri dan kembali kepada fitrah Islamiyah. Artinya, umat muslim diharapkan dapat kembali suci setelah dibersihkan dengan puasa Ramadan selama 1 bulan penuh, yang kemudian disempurnakan dengan mengeluarkan zakat fitrah sebagai bentuk rasa syukur dan berbagi kepada sesama, serta saling memaafkan atas kesalahan yang pernah terjadi.

Jika dilihat dari gabungan katanya, Idul Fitri berasal dari dua kata, yaitu ‘id’ dan ‘al-fitri’. Id secara bahasa berasal dari kata ada – ya’uudu, yang artinya kembali. Sedangkan, kata al-fitri memiliki dua makna, yaitu suci dan berbuka. Suci artinya bersih dari segala dosa, kesalahan, dan keburukan. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tidak menolak hal-hal yang bersifat lahiriyah-material. Tetapi ada yang tidak kalah dari unsur material, yaitu aspek non-material. Baginya, ketakwaan dan penerimaan amal-ibadah jauh lebih penting dari semua yang bersifat lahiriyah. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengutip riwayat Sayyidina Ali ra yang memakan roti dengan kualitas rendah di Hari Raya Idul Fitri. Betapa terkejutnya seorang sahabat yang mendapati Sayyidina Ali ra sedang memakan roti dengan kualitas rendah di hari raya tersebut. (*)

Konten Promosi
error: Konten dilindungi!!