RADARSULBARNEWS

Tomakakaq Ulumandaq

Kompleks Makam Tomakakaq di Kabiraan (24 Februari 2024). (Foto: Muhammad Ridwan Alimuddin)

BERJALAN menuruni puncak bukit Tandiallo, lima km sebelum sampai Taukong, di sisi kiri jalan, ada makam, yang menurut orang-orang Ulumandaq adalah makam Tamarakkasang bergelar anumerta Tomatindo di Tandiallo. Beliau adalah Tomakakaq Ulumandaq akhir sebelum Belanda mulai memerintah di kawasan Mandar (1909).

Dalam tulisan MT. Azis Syah, “Sejarah Mandar” (1997), “Tomakaka Ulumandaq atau Distrik Ulumandaq adalah Marrakasa Tomatindo di Tandeallo (1890 – 1900), Daeng Pasolo (1901 – 1916), Daeng Pajalang (1917 – 1933), dan Daeng Pagunung (1934 – …).” Angka dalam tahun adalah masa jabatan. Waktu MT. Azis Syah membuat tulisan, Daeng Pagunung masih menjabat dan belum meninggal. Jadi di catatan di atas tak ada tahun akhir jabatan.

Informasi di atas saya bandingkan dengan keterangan di nisan makam tomakakaq yang lain, yang kompleks pemakamannya terletak di pinggir kampung Kabiraan, juga di sisi kiri jalan. Di situ ada tiga makam tomakakaq, yaitu: Daeng Pajalang (1907 – 1989), Daeng Pagunung (tanpa tahun), dan Fachri Dg. Pajalang (1951 – 2023).

BACA JUGA:  Timnas U-17 Raih Kemenangan Kedua. Erick Thohir: Luar Biasa!

Berdasar dua sumber informasi di atas, saya membuat kesimpulan awal: Tomatindo di Tandeallo hanya menjabat selama 10 tahun untuk kemudian dilanjutkan oleh Daeng Pasolo selama 15 tahun, dan Daeng Pajalang 16 tahun.

Melihat tahun lahir dan tahun menjadi tomakakaq, kasus agak menarik karena Daeng Pajalang menjadi tomakakaq pada usia 10 tahun (lahir 1907, menjadi tomakakaq 1917. Data ini perlu dikros cek dengan sumber lain, sebab sepertinya belum layak menjadi tomakakaq bila masih terlalu belia. Kalau melihat tahun wafat Dg. Pajalang pada 1989, untuk kemudian membandingkan dengan tahun dilantiknya Dg. Pagunung, kedudukan tomakakaq berganti bukan karena tomakakaq sebelumnya wafat. Ini berbeda dengan pergantian raja di daerah lain, yang biasanya dilakukan kalau si penjabat raja mangkat.

Catatan Leyds menyebut pertemuannya dengan tomakakaq Ulumandaq, tapi tak ada nama disebut. “Adalah seorang kepala Distrik orang toraja yang berdasarkan adat menurut jabatan itu yang nampaknya disukai oleh penduduknya dan yang saya mengenalnya sebagai seorang yang cukup terpandang; tetapi dia tidak mempunyai kemampuan untuk mengembangkan daerah yang begitu terbelakang. Sebab utama dari keterbelakangannya itu harus dicari pada perjalanan sejarah dari bagian Mandar yang hampir terlupakan,” tulis Leyds. Kemungkinan besar yang dimaksud adalah Dg. Pagunung, sebab dia mulai menjabat sebagai Tomakakaq Ulumandaq (yang juga kepala distrik) pada 1934.

BACA JUGA:  SMPN 4 Polewali Juara Umum Gebyar LES 2025 Raih Enam Medali Emas

Dalam tradisi lisan masyarakat Ulumandaq sekarang ini, yang saya dengar langsung dari beberapa anakmudanya, seperti Irfan (Penggiat Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), bahwa nenek moyang mereka datang dari Ulu Salu.

Itu senada dengan informasi dalam catatan Leyds. “Penduduk daerah ini semuanya adalah orang Toraja dari asal usulnya yang sama dengan mereka dari Pitu Ulunna Salu. Mereka beragama Islam dan melihat keadaan tanah iklim, mereka berada pada keadaan yang sama seperti penduduk Pitu Ulunna Salu.”

Pada bagian lain, “… sebenarnya adalah tepat Ulu Mandaq disatukan dengan sisa dari Pitu Ulunna Salu, sesuai dengan berbagai kontrak politik dengan Balanipa, ditambah dengan Nota Penjelasan dari Kontrak Politik tahun 1909, seperti juga dengan tulisan tentang perbatasan dari Kapten Van Genderen Stort tanggal 12 Juli 1907 dan juga dari Kontrolir Caron pada Juli 1909. Tetapi daerah ini, demi untuk untuk memudahkan perhubungan digabungkan pada Sendana sebuah lanskap yang selama ini tak pernah berusaha untuk menaklukkan Ulu Mandaq.”

BACA JUGA:  Ahmad Saifuddin Dilantik jadi Pj Sekda Polman, Fokus Benahi Keuangan dan Stunting

Yang menarik di kalimat berikutnya karena memberi nuansa bahwa ada semacam ‘keterpaksaan’ memasukkan petuanan Ulumandaq ke Zelfbestuur Sendana: Kerajaan Sendana tak pernah mengkooptasi Ulumandaq, pun kalau Ulumandaq dilepaskan, pun tak apa-apa. Kata Leyds, “Orang-orang Ulu Mandaq sewaktu berhadapan dengan saya mereka memakai kata “tipu” untuk menggambarkan bagaimana mereka ditarik bergabung pada Sendana dan Maraqdia Sendana pernah berkata bahwa beliau dengan senang hati ingin bebas dari orang-orang Ulu Mandaq.” (*)

Bersambung…

Konten Promosi
error: Konten dilindungi!!